Kota Bandung pada mulanya sebagai kota kolonial yang plural, tetapi tersegregasi dari segi politik, ekonomi, dan kultural. Kepluralan ini terus berlangsung hingga sekarang, tetapi tidak lagi segregasi, dan juga tidak ada kultur lokal yang dominan. Sifat pluralitas yang demikian inilah yang menjadi embrio munculnya kelas kreatif.
Kultur perguruan tinggi, yang secara historis juga telah ada sejak masa kolonial dan sekarang jumlahnya jauh lebih banyak, berkali-kali lipat. dengan berbagai disiplin keilmuan, ikut mendorong terbentuknya kelas kreatif ini. Karya-karya kreatif memang hanya bisa diproduksi dan direproduksi orang-orang yang sedang dan telah mengecap perguruan tinggi. Lalu, dewasa ini kreativitas ini tergantung pada teknologi informasi, yang juga telah menjadi bagian integral dari kultur perguruan tinggi. Kombinasi dari kedua faktor inilah, perguruan tinggi dan teknologi informasi, yang menjadi modal simbolik untuk terbentuknya kelas dan produk-produk kreatif.
Situasi politik masyarakat dan negara pun berpengaruh pada keberadaan dan perluasan kelas kreatif. Pada masa orde lama, masyarakat dan negara mengalami politisasi yang berlebih, termasuk perguruan tinggi, hampir tidak muncul kelas kreatif. Ketika orde baru memegang tampuk kekuasaan, pembangunan ekonomi didorong, tetapi masyarakat mengalami depolitisasi. Memang di sini kelas kreatif juga muncul, tetapi masih terbatas, jumlahnya sedikit, karena kegiatan dan karya mereka juga dikontrol ketat oleh negara. Reformasi politiklah yang kemudian mendorong perluasan kelas kreatif di Kota Bandung. Karya-karya mereka juga semakin beragam dengan memanfaatkan momentum demokratisasi ini. Demokratisasi juga memungkinkan mereka terlibat dalam gerakan sosial baru dan dengan beraliansi dengan kelompok kepentingan lain, mereka berpartisipasi dalam penataan tatanan sosial dan lingkungan perkotaan. Tujuan dari keterlibatan dalam gerakan sosial ini adalah agar lingkungan perkotaan yang tertata bisa memperlancar perkembangan ekonomi, sehingga usaha ekonomi mereka bisa berkembang pula.
Tetapi usaha ekonomi kreatif kelas kreatif ini dibatasi oleh pusat perhatian masyarakat perkotaan atas barang-barang yang berubah-ubah. Karena itu, skala usaha mereka kecil-kecil dan dikelola dengan struktur organisasi yang fleksibel, yang memungkinkan mereka bisa menyesuaikan diri terus-menerus pada perubahan pusat perhatian masyarakat perkotaan atas barang-barang konsumsi.
Tujuan dari buku ini adalah hendak mengungkapkan isu tentang pembentukan dan dinamika kelas kreatif di Kota Bandung: dipengaruhi oleh faktor-faktor apa kemunculan dan perkembangannya? menggeluti bidang usaha apa saja dan bagaimana cara pemasarannya? dari mana sumber modal, baik modal ekonomi, teknologi, maupun pengetahuan kelas kreatif? dan mengapa serta bertujuan apa kelas kreatif terlibat dalam aksi-aksi sosial?
Dinamika Kelas Kreatif dari Kota Bandung
Penulis: BUDI RAJAB
Tahun Terbit: 2024
ISBN:
Halaman: x + 242
Harga:
Deskripsi
Sinopsis:
Kota Bandung pada mulanya sebagai kota kolonial yang plural, tetapi tersegregasi dari segi politik, ekonomi, dan kultural. Kepluralan ini terus berlangsung hingga sekarang, tetapi tidak lagi segregasi, dan juga tidak ada kultur lokal yang dominan. Sifat pluralitas yang demikian inilah yang menjadi embrio munculnya kelas kreatif.
Kultur perguruan tinggi, yang secara historis juga telah ada sejak masa kolonial dan sekarang jumlahnya jauh lebih banyak, berkali-kali lipat. dengan berbagai disiplin keilmuan, ikut mendorong terbentuknya kelas kreatif ini. Karya-karya kreatif memang hanya bisa diproduksi dan direproduksi orang-orang yang sedang dan telah mengecap perguruan tinggi. Lalu, dewasa ini kreativitas ini tergantung pada teknologi informasi, yang juga telah menjadi bagian integral dari kultur perguruan tinggi. Kombinasi dari kedua faktor inilah, perguruan tinggi dan teknologi informasi, yang menjadi modal simbolik untuk terbentuknya kelas dan produk-produk kreatif.
Situasi politik masyarakat dan negara pun berpengaruh pada keberadaan dan perluasan kelas kreatif. Pada masa orde lama, masyarakat dan negara mengalami politisasi yang berlebih, termasuk perguruan tinggi, hampir tidak muncul kelas kreatif. Ketika orde baru memegang tampuk kekuasaan, pembangunan ekonomi didorong, tetapi masyarakat mengalami depolitisasi. Memang di sini kelas kreatif juga muncul, tetapi masih terbatas, jumlahnya sedikit, karena kegiatan dan karya mereka juga dikontrol ketat oleh negara. Reformasi politiklah yang kemudian mendorong perluasan kelas kreatif di Kota Bandung. Karya-karya mereka juga semakin beragam dengan memanfaatkan momentum demokratisasi ini. Demokratisasi juga memungkinkan mereka terlibat dalam gerakan sosial baru dan dengan beraliansi dengan kelompok kepentingan lain, mereka berpartisipasi dalam penataan tatanan sosial dan lingkungan perkotaan. Tujuan dari keterlibatan dalam gerakan sosial ini adalah agar lingkungan perkotaan yang tertata bisa memperlancar perkembangan ekonomi, sehingga usaha ekonomi mereka bisa berkembang pula.
Tetapi usaha ekonomi kreatif kelas kreatif ini dibatasi oleh pusat perhatian masyarakat perkotaan atas barang-barang yang berubah-ubah. Karena itu, skala usaha mereka kecil-kecil dan dikelola dengan struktur organisasi yang fleksibel, yang memungkinkan mereka bisa menyesuaikan diri terus-menerus pada perubahan pusat perhatian masyarakat perkotaan atas barang-barang konsumsi.
Tujuan dari buku ini adalah hendak mengungkapkan isu tentang pembentukan dan dinamika kelas kreatif di Kota Bandung: dipengaruhi oleh faktor-faktor apa kemunculan dan perkembangannya? menggeluti bidang usaha apa saja dan bagaimana cara pemasarannya? dari mana sumber modal, baik modal ekonomi, teknologi, maupun pengetahuan kelas kreatif? dan mengapa serta bertujuan apa kelas kreatif terlibat dalam aksi-aksi sosial?
Produk Terkait
Bisa Déwék: Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu
Buy Now