Islam mengajarkan pentingnya penghormatan dan pengharggan terhadap sesama manusia, karena Islam membebaskan dan memanusiakan manusia. Kesadaran akan penghormatan dan penghargaan terhadap sesama manusia serta kesadaran terhadap HAM muncul bersamaan dengan kesadaran pentingnya manusia ditempatkan sebagai titik sentral dari pembangunan peradaban. Islam menjunjung tinggi semua unsur HAM, namun seluruhnya harus tunduk di bawah syariat.
Nilai Universalitas HAM telah dikenal Islam jauh sebelum adanya DUHAM, hal ini dapat ditemukan pada ajaran Islam yang mengajarkan kasih sayang, berupa rahmat Ilahi yang ditunjukan kepada seluruh umat manusia, pembebasan manusia dari praktek perbudakan masa jahiliya, perlindungan pengamanan terhadap berbagai hal yang mengancam jiwa, kehormatan dan keturunan, harta benda material dan akal pikiran manusia, juga terhadap eksistensi agama.
Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk melarang dilakukan suatu pemaksaan, menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beraspirasi, menentang kezaliman, menghargai hak, penghormatan diri manusia, memelihara perikehidupan dan penyediaan sarana hidup, seperti hak untuk memiliki (property rights), dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Praktik hukum pada peradilan adat, merupakan hak masyarakat adat pada ranah indigenous court, yang merupakan bagian dari HAM, namun dikalangan pengiat HAM telah terjadi perbedaan pandangan antara kaum relativism vs universalist, mengenai hak hukum masyarakat adat.
Pandangan universalist yang memaksa masyarakat adat menerima semua unsur HAM, ditentang para relativism atau culturist, sehingga dibutuhkan suatu jembatan untuk menghubungkan gap tersebut.
Praktik peradilan adat Aceh, memberikan jawaban atas jembatan penghubung gap untuk kaum universalist. Praktik peradilan adat Aceh, menerapkan asas mufakat, amanah, keterbukaan, tanggung jawab, dan kesetaraan di depan hukum/nondiskriminasi, cepat dan terjangkau, jujur, ikhlas dan sukarela, keberagaman, penyelesaian damai, praduga tak bersalah, serta berkeadilan. Pengadilan adat juga memberikan jaminan keselamatan jiwa kepada korban, bahkan praktek peradilan adat Aceh juga memberikan keterlibatan perempuan dalam proses beracara peradilan, equality of women, sebagai bentuk penerapan asas universalitas HAM.
Dialektika Antara Islam, Peradilan Adat, dan Universalitas Hak Asasi Manusia
Penulis: Andie Hevriansyah , Ahmad Rizqi Robbani Kaban, Ikhsan Azhar & Anna Erliyana
Tahun Terbit: 2022
ISBN: 978-602-6972-70-5
Halaman: XIV + 178
Harga: Rp 85.000,-/eks
Deskripsi
Sinopsis:
Islam mengajarkan pentingnya penghormatan dan pengharggan terhadap sesama manusia, karena Islam membebaskan dan memanusiakan manusia. Kesadaran akan penghormatan dan penghargaan terhadap sesama manusia serta kesadaran terhadap HAM muncul bersamaan dengan kesadaran pentingnya manusia ditempatkan sebagai titik sentral dari pembangunan peradaban. Islam menjunjung tinggi semua unsur HAM, namun seluruhnya harus tunduk di bawah syariat.
Nilai Universalitas HAM telah dikenal Islam jauh sebelum adanya DUHAM, hal ini dapat ditemukan pada ajaran Islam yang mengajarkan kasih sayang, berupa rahmat Ilahi yang ditunjukan kepada seluruh umat manusia, pembebasan manusia dari praktek perbudakan masa jahiliya, perlindungan pengamanan terhadap berbagai hal yang mengancam jiwa, kehormatan dan keturunan, harta benda material dan akal pikiran manusia, juga terhadap eksistensi agama.
Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk melarang dilakukan suatu pemaksaan, menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beraspirasi, menentang kezaliman, menghargai hak, penghormatan diri manusia, memelihara perikehidupan dan penyediaan sarana hidup, seperti hak untuk memiliki (property rights), dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Praktik hukum pada peradilan adat, merupakan hak masyarakat adat pada ranah indigenous court, yang merupakan bagian dari HAM, namun dikalangan pengiat HAM telah terjadi perbedaan pandangan antara kaum relativism vs universalist, mengenai hak hukum masyarakat adat.
Pandangan universalist yang memaksa masyarakat adat menerima semua unsur HAM, ditentang para relativism atau culturist, sehingga dibutuhkan suatu jembatan untuk menghubungkan gap tersebut.
Praktik peradilan adat Aceh, memberikan jawaban atas jembatan penghubung gap untuk kaum universalist. Praktik peradilan adat Aceh, menerapkan asas mufakat, amanah, keterbukaan, tanggung jawab, dan kesetaraan di depan hukum/nondiskriminasi, cepat dan terjangkau, jujur, ikhlas dan sukarela, keberagaman, penyelesaian damai, praduga tak bersalah, serta berkeadilan. Pengadilan adat juga memberikan jaminan keselamatan jiwa kepada korban, bahkan praktek peradilan adat Aceh juga memberikan keterlibatan perempuan dalam proses beracara peradilan, equality of women, sebagai bentuk penerapan asas universalitas HAM.
Informasi Tambahan
Soft Cover, Hard Cover
Produk Terkait
Hukum Pertambangan Indonesia
Buy NowPanduan Memahami Hukum Pembuktian Dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana (Edisi Revisi)
Buy NowPerdebatan Hukum Administrasi; Sebuah Kompilasi Artikel Hukum Administrasi
Buy Now