“Bukan mendadak puisi alit yang serba bebas sepenuhnya, pola stanza yang ada dalam kumpulan puisi ini terasa benar terikat pada pola persajakan baru. Disadari atau tidak stanza sebenarnya tidak asing bagi para penyair Indonesia, tetapi di sini pola yang diketengahkan memerlukan kreativitas yang penuh perhitungan. Mengingatkan kita pada haiku dan soneta. Maka yang terwujud antara lain adalah keharmonisan bentuk dan isi berbagai istilah musik yang memesona.” (Adri Darmadji Woko, penyair)
“Di tengah banjir dan polusi kata-kata, Ewith Bahar memilih format puisi kecil tiga baris untuk memadatkan pengalaman batinnya mengenai berbagai persoalan hidup. Ia menyisihkan ornamen- ornamen bahasa yang tidak perlu. Sajak-sajaknya seperti gugusan bintang di atas lembaran malam hitam.” (Joko Pinurbo, penyair)
“Puisi dan lagu memiliki hubungan yang sangat karib, bahkan seperti tak terpisahkan. Ewith bukan hanya menyadari, melainkan juga memadukan dalam makna yang selaras. lagu membutuhkan puitik — untuk sekadar menyampaikan pesan verbal– dan puisi memiliki lagu dengan unsur rima, jumlah kata dan baris. Terzina yang kita kenal sebagai pusisi tiga baris, dieksplorasi sang penyair di buku ini untuk mengusung berbagai tema. Tanpa merusak kaidah, keringkasannya justru memuat pesan dengan majas yang langsung terbayang sasarannya. Mula-mula meminjam aura komponis maestro, namun pada hamparan trilin lainnya justru merespon banyak hal yang ditangkap indrawi dan menyentuh sanubarinya. Ini cara lain Ewith mengungkap perasaan dalam hemat kata. Dan tentu memperkaya kepustakaan Indonesia dengan himpunan jenis puisi yang jarang dipilih penyair lain.” (Kurnia Effendi, penulis dan prosa)
“Penyair Ewith Bahar adalah seorang sastrawan yang diperhitungkan dalam jagat kepenyairan di tanah air. Karya-karyanya makin diapresiasi di dunia internasional. Puisi-puisinya sangat indah untuk dibaca dan didengarkan. Tidak heran bila penyair ini mendapat banyak penghargaan atas karya-karyanya. Pecinta puisi akan menikmati sajak-sajak terbaru karya penyair ini di dalam buku-buku terbarunya, berupa kumpulan puisi tiga baris ‘Impromptu Terzina’ serta kumpulan puisi dwi-bahasa ‘The Rhythm of Ego’. Ewith seorang penyair yang produktif berkarya sejak ia memutuskan untuk menekuni dunia puisi di tahun 2014. Sajak-sajaknya ditulis dalam bahasa indonesia, namun banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing ketika terpilih di dalam buku antologi puisi yang diterbikan di banyak negara. Tema-tema puisi Ewith sangat kaya karena menyentuh berbagai topik yang universal sehingga kita menyatu ke dalam dunia yang semakin menjadi satu. Kemajuan teknologi di berbagai bidang terutama teknologi digital memang menghilangkan sekat-sekat antar negara dan kebudayaan sehingga tidak salah bila Ewith sebenarnya adalah duta budaya dan sastra Nusantara.” (Dr. Nasir Tamara, M.A., M.Sc., penulis buku best seller “Revolusi Iran” dan “Indonesia Rising,” dan Ketua Umum Satu Pena periode 2017 – 2021)
“Enam puisi bertema ‘kepergian’ yang dipersembahkan kepada pak SDD yang wafat 19 Juli 2020 pukul 09.17 wib, rasanya mewakili apa yang saya rasakan. Terima Kasih sudah menulis puisi-puisi indah itu. Puisi-puisi ini akan menjadi pengingat bahwa Bapak disayang sebagai manusia biasa dan sebagai penyair yang diterima banyak orang. Bagi saya, enam puisi tersebut bukan saja hasil penghayatan mbak Ewith pribadi tentang pak SDD, puisi-puisi itu juga mewakili perasaan saya yang akan saya tuliskan jika saja saya mampu menulis puisi. Terima Kasih sekali lagi, puisi-puisi itu bagi saya adalah perayaan atas rasa kehilangan yagn dalam.” (Sonya Sondakh, istri penyair Sapardi Djoko Damono)
Impromptu Terzina
Penulis: Ewith Bahar
Tahun Terbit: 2021
ISBN: 978-602-6972-66-8
Halaman: xii + 148
Harga: Rp. 60.000,-/Eks
Deskripsi
Sinopsis:
“Bukan mendadak puisi alit yang serba bebas sepenuhnya, pola stanza yang ada dalam kumpulan puisi ini terasa benar terikat pada pola persajakan baru. Disadari atau tidak stanza sebenarnya tidak asing bagi para penyair Indonesia, tetapi di sini pola yang diketengahkan memerlukan kreativitas yang penuh perhitungan. Mengingatkan kita pada haiku dan soneta. Maka yang terwujud antara lain adalah keharmonisan bentuk dan isi berbagai istilah musik yang memesona.” (Adri Darmadji Woko, penyair)
“Di tengah banjir dan polusi kata-kata, Ewith Bahar memilih format puisi kecil tiga baris untuk memadatkan pengalaman batinnya mengenai berbagai persoalan hidup. Ia menyisihkan ornamen- ornamen bahasa yang tidak perlu. Sajak-sajaknya seperti gugusan bintang di atas lembaran malam hitam.” (Joko Pinurbo, penyair)
“Puisi dan lagu memiliki hubungan yang sangat karib, bahkan seperti tak terpisahkan. Ewith bukan hanya menyadari, melainkan juga memadukan dalam makna yang selaras. lagu membutuhkan puitik — untuk sekadar menyampaikan pesan verbal– dan puisi memiliki lagu dengan unsur rima, jumlah kata dan baris. Terzina yang kita kenal sebagai pusisi tiga baris, dieksplorasi sang penyair di buku ini untuk mengusung berbagai tema. Tanpa merusak kaidah, keringkasannya justru memuat pesan dengan majas yang langsung terbayang sasarannya. Mula-mula meminjam aura komponis maestro, namun pada hamparan trilin lainnya justru merespon banyak hal yang ditangkap indrawi dan menyentuh sanubarinya. Ini cara lain Ewith mengungkap perasaan dalam hemat kata. Dan tentu memperkaya kepustakaan Indonesia dengan himpunan jenis puisi yang jarang dipilih penyair lain.” (Kurnia Effendi, penulis dan prosa)
“Penyair Ewith Bahar adalah seorang sastrawan yang diperhitungkan dalam jagat kepenyairan di tanah air. Karya-karyanya makin diapresiasi di dunia internasional. Puisi-puisinya sangat indah untuk dibaca dan didengarkan. Tidak heran bila penyair ini mendapat banyak penghargaan atas karya-karyanya. Pecinta puisi akan menikmati sajak-sajak terbaru karya penyair ini di dalam buku-buku terbarunya, berupa kumpulan puisi tiga baris ‘Impromptu Terzina’ serta kumpulan puisi dwi-bahasa ‘The Rhythm of Ego’. Ewith seorang penyair yang produktif berkarya sejak ia memutuskan untuk menekuni dunia puisi di tahun 2014. Sajak-sajaknya ditulis dalam bahasa indonesia, namun banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing ketika terpilih di dalam buku antologi puisi yang diterbikan di banyak negara. Tema-tema puisi Ewith sangat kaya karena menyentuh berbagai topik yang universal sehingga kita menyatu ke dalam dunia yang semakin menjadi satu. Kemajuan teknologi di berbagai bidang terutama teknologi digital memang menghilangkan sekat-sekat antar negara dan kebudayaan sehingga tidak salah bila Ewith sebenarnya adalah duta budaya dan sastra Nusantara.” (Dr. Nasir Tamara, M.A., M.Sc., penulis buku best seller “Revolusi Iran” dan “Indonesia Rising,” dan Ketua Umum Satu Pena periode 2017 – 2021)
“Enam puisi bertema ‘kepergian’ yang dipersembahkan kepada pak SDD yang wafat 19 Juli 2020 pukul 09.17 wib, rasanya mewakili apa yang saya rasakan. Terima Kasih sudah menulis puisi-puisi indah itu. Puisi-puisi ini akan menjadi pengingat bahwa Bapak disayang sebagai manusia biasa dan sebagai penyair yang diterima banyak orang. Bagi saya, enam puisi tersebut bukan saja hasil penghayatan mbak Ewith pribadi tentang pak SDD, puisi-puisi itu juga mewakili perasaan saya yang akan saya tuliskan jika saja saya mampu menulis puisi. Terima Kasih sekali lagi, puisi-puisi itu bagi saya adalah perayaan atas rasa kehilangan yagn dalam.” (Sonya Sondakh, istri penyair Sapardi Djoko Damono)